masukkan script iklan disini
PERLINDUNGAN HUKUM ANAK: MEKANISME PENGAJUAN RESTITUSI BAGI ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM
Medan, 2 Mei 2025 – Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional sekaligus menyoroti isu krusial terkait hak-hak anak, Kondios Meidarlin Pasaribu, Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, menegaskan pentingnya penguatan perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban tindak pidana. Salah satu aspek penting dalam perlindungan tersebut adalah mekanisme pengajuan restitusi sebagai bentuk pemulihan hak-hak korban.
Meski telah hadir berbagai regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, implementasi perlindungan anak masih menghadapi tantangan. "Perlindungan anak harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan negara. Anak-anak yang menjadi korban kejahatan membutuhkan keadilan yang nyata, bukan hanya janji dalam regulasi," tegas Kondios Meidarlin.
Salah satu bentuk pemenuhan keadilan bagi korban anak adalah melalui restitusi, yaitu pembayaran ganti kerugian oleh pelaku atas penderitaan yang dialami korban, baik secara materil maupun imateril. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 sebagai pelaksanaan dari Pasal 71D Undang-Undang Perlindungan Anak.
“Restitusi merupakan bentuk tanggung jawab negara dan pelaku dalam memastikan anak sebagai korban memperoleh hak pemulihannya secara menyeluruh,” lanjutnya.
Mekanisme Restitusi: Langkah Hukum untuk Korban Anak
Sebelum diberlakukannya PP 43 Tahun 2017, pengajuan restitusi masih mengacu pada Pasal 48 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam pasal tersebut, korban dapat:
1. Mengajukan permohonan restitusi saat melaporkan kasus ke kepolisian;
2. Mengajukan gugatan perdata ke pengadilan secara mandiri.
Setelah PP 43/2017 berlaku, mekanisme pengajuan restitusi menjadi lebih terintegrasi. Saat korban melaporkan tindak pidana ke pihak kepolisian, penyidik wajib mencantumkan klaim restitusi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Kemudian, pada tahap penuntutan, Jaksa Penuntut Umum berkewajiban memberitahukan hak restitusi kepada korban dan menyampaikan nilai kerugian ke pengadilan bersamaan dengan tuntutan pidana.
Jika dinyatakan terbukti, hakim akan mencantumkan perintah pembayaran restitusi dalam amar putusan. Dana restitusi dapat dititipkan di pengadilan dan disalurkan ke korban dalam waktu maksimal 14 hari setelah putusan inkracht.
Selain itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga berperan dalam pengajuan restitusi sebagaimana diatur dalam PP No. 44 Tahun 2008. Korban dapat mengajukan permohonan tertulis ke pengadilan melalui LPSK, yang kemudian akan memeriksa kelengkapan dokumen dalam waktu 7 hari, dan korban diberikan waktu 14 hari untuk melengkapinya.
Rekomendasi dan Harapan
Kondios Meidarlin menegaskan bahwa masih banyak korban anak yang tidak mengetahui haknya atas restitusi. Oleh karena itu, ia menyarankan agar:
Pemerintah dan aparat penegak hukum mensosialisasikan mekanisme restitusi secara luas;
Lembaga pendidikan, LPSK, dan media massa turut aktif memberikan edukasi hukum kepada masyarakat;
Sistem peradilan pidana anak di Indonesia lebih responsif dan berbasis kepentingan terbaik anak.
“Restitusi bukan hanya soal uang, tetapi tentang keadilan, pengakuan, dan pemulihan martabat anak sebagai korban. Inilah tanggung jawab negara hukum,” pungkasnya.(Gajah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar